Ngada, Radarflores.com– Langkah Pulau Flores dalam mencapai kemandirian energi semakin nyata menyusul diberlakukannya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 10 Tahun 2025 tentang Peta Jalan Transisi Energi Sektor Ketenagalistrikan.
Aturan ini menjadi tonggak penting dalam mendukung pemanfaatan energi bersih, khususnya di Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) seperti Flores.
Peta jalan tersebut menekankan sejumlah strategi utama, seperti implementasi co-firing biomassa di PLTU, percepatan pengurangan penggunaan bahan bakar minyak (BBM), retrofitting pembangkit fosil, pembatasan pembangunan PLTU baru, hingga percepatan pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT).
Permen ini juga menetapkan skema pensiun dini bagi PLTU batu bara sebagai bagian dari upaya mencapai target net-zero emission (NZE) pada tahun 2060.
Kriteria penilaian meliputi kapasitas, usia, emisi gas rumah kaca, serta ketersediaan pendanaan dan dukungan teknologi.
Kajian menyeluruh oleh PT PLN (Persero) menjadi syarat utama sebelum keputusan pensiun dini dilakukan.
Sejalan dengan kebijakan tersebut, pengembangan pembangkit listrik berbasis EBT, termasuk panas bumi, semakin digencarkan di Flores.
Pulau ini memiliki potensi panas bumi sekitar 1.036 MW, yang dinilai mampu mendukung kebutuhan energi jangka panjang secara berkelanjutan.
General Manager PT PLN (Persero) Unit Induk Pembangunan Nusa Tenggara (UIP Nusra), Yasir, menyebutkan bahwa kapasitas pembangkit listrik di Flores saat ini mencapai 104,2 MW dengan beban puncak sebesar 104 MW. Konsumsi listrik pun diproyeksikan tumbuh 8,26% per tahun.
“Listrik geothermal 10 MW cukup untuk melistriki 11.000 rumah tangga dengan asumsi pelanggan rumah tangga 900 VA,” jelas Yasir.
Tak hanya menyediakan listrik yang andal, pengembangan geothermal juga membawa berbagai manfaat tambahan seperti penciptaan lapangan kerja, pembangunan infrastruktur, peningkatan perekonomian lokal, pengembangan masyarakat, hingga pendapatan daerah.
Meski demikian, Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) masih mendominasi sistem kelistrikan di Nusa Tenggara Timur (NTT). Oleh karena itu, program dedieselisasi pun terus didorong, yaitu mengganti PLTD dengan pembangkit berbasis energi terbarukan atau sistem hibrida.
“Sesuai RUPTL 2021–2030, PLTD direncanakan berhenti beroperasi pada tahun 2025,” ujar Yasir. [*]