Ruteng, Radarflores.com - Calon bupati Manggarai Maksi Ngkeros menyampaikan pernyataan menohok seputar kinerja Bupati Herybertus G.L Nabit saat kampanye di Rampasasa, Desa Wae Mulu, Kecamatan Wae Ri'i beberapa waktu lalu.
"Ende-ema agu sanggen taung ase ka’en. Pu’ung ce’e mai ho’on lite pande di’an Manggarai ho’o. Agu neka teing can suara latang te hia HN (Bapa-mama, saudara/i sekalian, mulai dari sini kita buat baik Manggarai ini. Dan, jangan kasih satu pun suara kepada HN),” demikian orasi yang disampaikan Maksi Ngkeros, sebagaimana dikutip dari video yang beredar di media sosial itu.
“ai hia HN poli pande hancurn Manggarai ho'o (karena HN telah menghancurkan Manggarai ini),” imbuh dia.
Pernyataan ini kemudian berbuntut laporan oleh ketua LSM Lembaga Pengkaji Peneliti Demokrasi Masyarakat (LPPDM) Marsel Ahang ke Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) Kabupaten Manggarai pada Senin, 14 Oktober 2024.
Marsel menilai, dalam materi kampanye Maksi Ngkeros telah menyudutkan pasangan calon nomor urut dua yakni, Herybertus G.L Nabit dan Fabianus Abu (Hery-Fabi).
Namun menurut pengamat hukum Dr. Edi Hardum, pernyataan Maksi Ngkeros tersebut masuk dalam kategori kampanye negatif atau negative campaign.
“Kampanye negatif sah-sah saja dalam politik dan dibenarkan secara hukum,” kata Edi, Jumat, 25 Oktober 2026, ketika diminta pendapatnya mengenai kasus yang diduga melakukan kampanye hitam oleh Maksi Ngkeros saat kampanye terbuka ajak warga Rampasasa beberapa waktu lalu.
Ia menegaskan, kata “menghancurkan” Manggarai tidak boleh dimaknai secara denotatif, tetapi juga secara konotatif/asosiatif. Artinya banyak fakta yang bisa dijadikan dasar peryataan Maksi Ngkeros tersebut.
Antara lain, kata dia, pertama, Hery Nabit membangkang terhadap putusan pengadilan soal gugatan ASN yang telah telah dipecat Nabit. Para ASN menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan PTUN mengabulkan gugatan mereka, di mana Nabit diperintahkan agar mengembalikan jabatan para ASN ke jabatan semula. Sayangnya, Nabit tidak melakukannya.
Menurut Edi, perbuatan Nabit seperti ini bisa digolongkan sebagai perbuatan yang “menghancurkan Manggarai”.
“Orang Manggarai di mana pun berada atau semua orang Indonesia tentu hatinya hancur karena ada pejabat negara yang bangkang terhadap putusan hakim,” katanya.
Kedua, dalam perekrutan aparat desa di beberapa desa di Kecamatan Reok Barat, di mana camat Reok Barat yang merupakan anak buah Nabit meloloskan orang yang tidak lulus dalam tes dan mentidakluluskan orang yang lulus dalam tes.
“Perbuatan sang camat sudah diadukan kepada Nabit melalui Sekda namun Nabit tidak berbuat sesuatu atau tidak menindak sang camat. Itu perbuatan menghacurkan Manggarai secara konotatif,” kata Edi.
Ia menegaskan, dua kasus tersebut merupakan sebagian tindakan Nabit yang bisa digolong mengancurkan Manggarai dalam arti yang konotatif atau asosiatif.
Edi menegaskan, dalam UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu tidak secara eksplisit mengatur soal kampanye hitam atau black campaign.
Bunyi Pasal 280 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur tentang larangan dalam kampanye, yaitu pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang: (a) mempersoalkan dasar negara Pancasila, Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia; (b) melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (c) menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau peserta pemilu yang lain; (d) menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat; (e) mengganggu ketertiban umum; (f) mengancam untuk melakukan kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada seseorang, sekelompok anggota masyarakat, dan/atau peserta pemilu yang lain; (g) merusak dan/atau menghilangkan alat peraga kampanye peserta pemilu; (f) menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan; (i) membawa atau menggunakan tanda gambar dan/atau atribut selain dari tanda gambar dan/atau atribut peserta pemilu yang bersangkutan; dan (j) menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye pemilu.
Dari bunyi pasal tersebut, kata Edi, kata-kata Maksi Ngkeros tidak termasuk dalam kategori kampanye hitam.
“Kalau dikatakan menghina juga tidak masuk, karena memang tindakan Nabit yang salah selama ini. Kita harus kritisi dan ingatkan masyarakat agar jangan pilih orang yang salah,” kata advokat dari kantor Hukum “Edi Hardum dan Rekan” ini.
Menurut Edi, hampir semua pakar Ilmu Hukum Pidana berpendapat bahwa dalam hukum kepemiluan, kampanye negatif diizinkan, sedangkan kampanye hitam dilarang dan dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana tertuang di dalam Pasal 280 ayat (1) huruf c dan Pasal 521 UU Pemilu.
Jika kampanye negatif dilakukan dengan menunjukkan kelemahan dan kesalahan pihak lawan politik, maka kampanye hitam adalah menuduh pihak lawan dengan tuduhan palsu.
Kampanye negative, kata pengajar Ilmu Hukum Pidana ini, berguna membantu pemilih membuat keputusannya.
"Saya minta Maksi Ngkeros tunjukan semua data kesalahan Nabit serta janji-janjinya tidak dilaksanakan sebagai dasar pernyataan Maksi soal Nabit menghancurkan Manggarai,” kata Edi.
Edi meyayangkan, kasus dugaan kampanye hitam dengan terlapor Maksi naik ke penyidikan. Menurut Edi, Gakumdu Manggarai juga memakai KUHAP sebagai hukum acara dalam menyelidiki kasus tersebut.
Dalam KUHAP ditegaskan minimal dua alat bukti sebuah kasus naik ke penyidikan.
“Apa ya bukti mereka? Apa mereka sudah minta pendapat pidana soal kata-kata tersebut? Saya minta kuasa hukum tim Maksi lawan secara hukum,” kata dia.
Edi meminta Polres Manggarai agar setop menyidik kasus tersebut sebab kasus itu tidak masuk sebagai kampanye hitam.
“Polisi jangan sampai terkesan menerima pesanan dari pasangan calon tertentu. Keluarkan SP3 atas kasus tersebut,” pinta Edi. [RF]