Labuan Bajo, Radarflores.com - Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) kembali menjadi sorotan terkait beberapa kasus tanah di wilayah Labuan Bajo.
Sebelumnya, BPN Mabar sempat mendapat perhatian dari sejumlah media karena dugaan keterlibatannya dengan mafia tanah dalam sengketa antara Ibrahim Hanta dan Niko Naput di Kerangan, Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Komodo.
Kini, BPN Mabar kembali menjadi perbincangan dalam kasus tanah yang melibatkan I Gusti Putu Ekadana, Entin Martini, dan Muhammad Thasyrif Daeng.
Kasus ini berkaitan dengan tanah seluas ±100.000 m² (10 hektare) yang terletak di Pulau Kukusan, Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat.
Pada Senin, 17 Februari 2025, I Gusti Putu Ekadana, yang akrab disapa Eka, didampingi oleh kuasa hukumnya, Hipatios Wirawan menjelaskan, dirinya membeli tanah di Pulau Kukusan pada tahun 2005 seluas 10 hektare dari Haji Maudu Djudje.
Setelah melakukan pembelian, pada tahun yang sama, Ekadana mengajukan permohonan penerbitan sertifikat dan memperoleh sertifikat hak milik untuk dua hektare.
Ekadana menjelaskan, "Saat itu, kami berencana memisahkan sertifikat tanah seluas 10 hektare. Sertifikat untuk dua hektare sudah terbit, namun karena kesibukan, saya baru mengajukan permohonan sertifikat untuk sisa delapan hektare pada tahun 2024."
"Namun, permohonan tersebut ditolak oleh BPN, karena ternyata ada pihak lain yang mengajukan klaim atas lokasi tersebut," ujarnya.
Ekadana menyatakan, tanah seluas 10 hektare tersebut telah dikuasai oleh Haji Maudu Djudje sejak tahun 1965 dan tidak ada pihak lain yang menggugat atau mengklaimnya sebelumnya.
Ia menduga adanya praktik mafia tanah yang berusaha mengklaim tanah milik masyarakat.
"Tanah milik masyarakat bisa saja diakui sebagai milik orang lain jika ada pihak yang mengajukan permohonan sertifikat. Saya mencurigai BPN Mabar terlibat dalam praktik mafia tanah," tambahnya.
Ekadana mengungkapkan kekhawatirannya bahwa tindakan BPN Mabar ini dapat menghambat investasi di Labuan Bajo.
"Tanah yang sudah dibeli, tetapi kemudian disertifikatkan oleh orang lain. BPN Mabar bisa dianggap sebagai aktor intelektual dalam praktik mafia tanah di Labuan Bajo," ungkapnya.
Menurutnya, tugas BPN Mabar adalah memastikan hak atas tanah milik masyarakat, bukan bertindak seolah-olah menjadi pengadilan.
"BPN Mabar seharusnya tidak bertindak sebagai hakim sendiri," tegasnya.
Ekadana menegaskan, dirinya adalah pembeli yang beritikad baik dan telah membeli tanah sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.
Pembelian tanah tersebut dilakukan secara sah dan lunas, dengan penyerahan fisik tanah (levering) dari penjual, Haji Maudu Djudje, kepada dirinya.
Oleh karena itu, ia merasa dirampas haknya akibat tindakan pihak lain yang mengklaim tanah tersebut.
Sebagai bagian dari proses hukum, Ekadana memohon agar BPN Mabar menghentikan segala upaya penerbitan sertifikat atas tanah yang sudah dibeli dan dimiliki olehnya.
"Saya minta Kepala BPN Mabar, Gatot Suyanto, untuk tidak lagi melayani permohonan penerbitan sertifikat untuk tanah yang sudah saya beli," ujar Ekadana.
Terkait masalah ini, Kepala BPN Mabar, Gatot Suyanto, yang dikonfirmasi media meminta wartawan untuk melakukan wawancara dengan salah satu stafnya, Mex.
"Nanti ke kantor saja temui Pak Mex," ujarnya singkat.
Penulis: Isno Baco